Kamis, 24 Februari 2011

Catatan Tour Ary Juliyant ke India

ARY JULIYANT: MUSIK ITU PERLU KEJUJURAN

Oleh : Paox Iben



Salam hangatku kepada ikan-ikan di laut lepas

Dari seberang selat hingga ke samodra Indonesia

Biru laut adalah cinta yang membiarkan ku hanyut

Seberangi O bahagia yang membiarkanku berair mata





Namanya Ary Juliyant. Lahir di Bandung 31 Juli 1964. Dari namanya pasti ia seorang seniman. Mantan aktivis mahasiswa pecinta alam MAPAK ALAM UNPAS Bandung ini sudah lebih dari 15 tahun tinggal di Lombok. Aktivitasnya sehari-hari memang tidak lepas dari urusan kesenian. Jika anda sempat berlibur atau berkunjung ke Lombok, silahkan ke Senggigi. Hampir setiap hari ia manggung bersama kelompoknya, Ary Juliyant & Folk di beberapa café dan bar di Senggigi. Seniman penghibur? Jangan salah…



Namanya sangat ke sohor terutama diblantika musik Indie Indonesia. Apalagi seantero Nusa Tenggara Barat, sudah hampir pasti melegenda. Seniman rendah hati yang biasa disapa Kang Ary ini, bila ada waktu, tak pernah menolak undangan pentas dimana, kapan dan oleh siapa saja. Di kampus-kampus, di kampung, di berugak desa, diacara nikahan sekalipun, di manapun. Tentu saja, ia akan membawakan lagu-lagu karya sendiri atau beberapa puisi kawan-kawannya yang dilagukan. bagi para pecinta atau penikmat musik indie, alternatif, tak perlu khawatir. Ia juga merekam lagu-lagunya dan mengedarkannya dalam bentuk cd. Semuanya ia produksi sendiri, asli handmade, termasuk cover cd-nya yang cukup unik. Antara satu cover dengan cover lainnya hampir tidak ada kesamaan. Semuanya ia buat dengan tangan. Kertas karton, ditempeli guntingan koran bekas, dicorat-coret dengan spidol, pena atau pensil, dipilox dan... foto copy. Karena itu ia namakan produksinya sebagai photo copy record.



Meskipun secara garis besar ia banyak membawakan musik berjenis country dengan ciri syair balada, namun lagu-lagunya cukup beragam. Ia sering menyebut lagu-lagunya, dan musiknya tentu saja, ber-aliran sesat. OUT OF BOX. Keluar dari kelaziman-kelaziman. Se-ekstrim itukah? Ya, ia memang betul-betul anti mainstreams jika yang anda maksud seperti musik-musik pop atau lagu-lagu yang biasa kita dengar di televise atau radio-radio. Atau jangan-jangan karena musiknya atau lagu-agunya tidak diterima oleh Major Lebel alias industri musik? Gagal jadi artis gitu maksudnya? Bisa jadi. Iapun tidak menampik itu. Bahwa ia pernah tergiur untuk memasuki industri rekaman. Dan segera musiknyapun dicampakkan, dianggap kurang sesuai dengan selera ”pasaran”. Tak mengapa. Itu dulu. Setidaknya ia justru merasa terselamatkan karena terhindar dari ”jebakan popularitas semu”. Lho, kok bisa? Bukankah itu impian semua musisi?

Ah, tidak juga!



”Dalam musik itu butuh kejujuran,” begitu sering diungkapkan Ary Juliyant. Mungkin terdengar klise, ditengah pamer ketidakjujuran yang hampir membudaya di negeri ini. ”Musik adalah bahasa hati. Ungkapan terdalam dari jiwa kita. Bagaimana kita mampu menangkap soul of nature, atau energi zaman dalam karya-karya kita misalnya, kalau kita tidak jujur?” Jika kalimat itu diperpanjang, bagaimana para seniman,musisi, bisa berkarya dengan baik jika otak dan hatinya ”sudah tergadai” oleh dunia industri? Seniman atau musisi berkarya agar populer dan karyanya laku dipasaran? Bagaimana seniman, atau musisi akan menyuarakan keadilan atau suara mereka yang tertindas dan merintih kesepian ditengah hiruk pikuk zaman yang meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan? Mungkin tidak semua. Tapi siapapun tahu betapa piciknya industri musik di Indonesia. Para produsernya tak mungkin mau membuka warna lain atau ruang-ruang kemungkinan bagi wacana kreatif jika tak berarti ”fulus” atau istilah lainnya yang penting bisa merontokkan pulsa atau uang pendengar. Tak perlu musik yang berkualitas, yang penting enak, renyah dan terpenting diantara semua; HARUS LAKU!



Maka lihatlah. Band-band tumbuh menjamur. Dari anak-anak SMP hingga kuliahan, anak-anak yang suka ngepos diperempatan hingga eksekutif muda semua pada ngeband. Namun hampir semuanya menawarkan warna musik yang seragam. Syair lagu-lagunya pun tak lebih kekanak-kanakan dari lagu anak-anak ditahun 80-an atau paling tidak awal 90-an. Memang, era musik ”serius” sepertinya sudah habis atau sengaja dihabisi. Di kebiri. Keberadaannya dianggap mengancam industri musik tanah air yang dikuasai oleh beberapa kartelan. Band-band atau musisi yang cukup serius seperti kelompok-kelompok rock tahun 70-an sudah pada uzur. Sementara para musisi atau kelompok yang eksis tahun-tahun 80-an akhir atau awal 90-an yang dikenal dengan aliran Log Zelebourpun sudah pada gulung tikar. Jika pun masih eksis, harus segera berganti haluan ikuti trend yang sudah digariskan. Jika tidak...Kehkkk. abiss!

Diluar itu semua sebenarnya masih banyak ”para penempuh jalan kesejatian di bidang permusikan. Umumnya mereka memang mengambil jalan sunyi seperti Slamet Abdulsyukur atau musisi yang hidup dari kampus ke kampus atau festival khusus dengan menekuni musik kontemporer. Ada pula yang lebih memilih sesekali muncul dalam ruang pop bila arusnya memungkinkan, seperti Indra Lesmana, Dwiki Dharmawan dengan kelompok Krakataunya, Purwa Caraka dsb. Ada juga yang memilih berkarir di luar negeri karena di sana tentu lebih memungkinkan. Atau yang benar-benar memilih jalan sunyi hingga sama sekali tersembunyi, seperti permata atau mutiara di kedalaman laut, nyaris tidak kelihatan. Salah satunya adalah Ary Juliyant, si gerilyawan musik.



Salah satu kegemaran Ary Juliyant adalah melakukan perjalanan, tour keliling. Tidak seperti yang anda bayangkan. Bukan, bukan tour mewah dengan segala macam perlengkapan dan penyambutan seperti layaknya seorang ”bintang jadi-jadian" atau artis karbitan yang sekarang banyak menjamur itu. Hanya perjalanan biasa, berbekal gitar atau alat musik lainnya. Ia pergi ke mana saja. Ke kampus-kampus. Sekolah. Ke desa-desa. Ke berbagai kota di Indonesia. Ia bahkan dengan penuh rasa percaya diri menyebut dirinya sebagai Gerilyawan Musik. Gelar itu memang pantas ia sandang. Apa? Gila popularitas? Gandrung beken? Jualan keliling? Ah, jauh, sangat jauh dari yang anda bayangkan. Ia selalu mengatakan musik itu untuk siapa saja. Karena itu, musiknya ada untuk menyapa siapa saja, meski mungkin dengan cara yang sedikit berbeda. Tak peduli tempat itu ramai orang atau tidak, ia tetap pentas. Bahkan ia pernah pentas diatas Gunung Rinjani hanya ditemani oleh beberapa kawannya. Beberapa kali memang, ia sengaja tampil hanya disaksikan oleh beberapa gelintir orang. Di bawah tangga sebuah kampus, atau di warung kaki lima. Ia cukup senang, dan itulah yang ia cari, dialog yang lebih intens dan cukup mendalam dengan apresiannya. Karena itu ia cukup rajin bergerilya. Kadang bersama rombongan, bersama kawan-kawan sekelompoknya dan lebih sering; sendirian.



Apakah musiknya memang sukar dinikmati, sehingga ia harus mengambil jalan sunyi seperti itu? Sering memang, ia melakukan beberapa eksperimentasi yang ”aneh-aneh”, misalnya membuat musik dengan sapu lidi, suara gergaji, penggorengan dan sebagainya. Apalagi jika ia diminta oleh kawan-kawan seniman lainnya untuk terlibat dalam produksi pementasan tari, teater, atau performance, tentu warna musiknya lebih eksperimentatif. Secara umum, musik Ary Juliyant, terutama lagu-lagunya, cukup enak dinikmati. Terasa ringan namun tetap menumbuhkan kesan mendalam. Beberapa lagunya sangat mudah dihafal, sehingga setiap kali ia konser, audiens yang pertama kali mendengarpun langsung bisa ikut bersenandung, apalagi yang sudah beberapa kali atau sering mengikuti konser Ary Juliyant. Ia juga cukup responsif, serta aktraktif dan suka melebur, melibatkan siapa saja, bahkan orang-orang yang katanya tidak bisa bernyanyi, cacat nada, ia ajak bernyanyi, bermusik dan berdendang. Sungguh, keyakinan yang luar biasa. Sesekali ia juga mendapat tawaran pentas, atau berkolaborasi dengan beberapa musisi ”kondang” di negeri ini. Sawung Jabo, atau Tantowi Yahya, sama saja, bila ia berkolaborasi dengan anak-anak SMU yang baru belajar musik. Semua itu ia jalani dengan penuh dedikasi dan kerendahan hati.



Ary Juliyant percaya bahwa seni, musik, adalah penguat dan perekat hati. Melalui musik, seseorang belajar untuk menghargai kehidupan, menghargai orang lain. Dalam musik juga ada sebentuk dialog, percakapan. Mungkin tak harus seperti jazz, dimana dialog itu hadir melalui persinggungan antar nada dan melodi, sehingga membentuk harmoni. Ary Juliyant tak membatasi itu. Baginya, siapapun pantas dan layak mendapatkan musik. Bukan hanya mereka yang kenal nada, bisa bernyanyi atau memainkan alat musik, apalagi hanya mereka-mereka yang sanggup membeli kaset atau vcd atu tiket-tiket konser. Musik ada disekeliling kita, menyentuh hati kita. Dengan kepercayaan itu, seseorang dan orang-orang lainnya, bahkan seluruh yang hidup bisa disatukan dengan musik.



Musik bagi Ary juliyant juga bagian dari persinggungan budaya. Komunikasi antar komunitas budaya, berbagai kekuatan antar generasi mampu dihimpun, disatukan dan dimaknai kembali melalui musik. Suatu ketika misalnya, ia membuat eksperimentasi dengan orang-orang seni tradisi seperti musik Cilokaq atau Genggong yang sudah mulai punah. Ia ramu kembali musik-musik itu menjadi sesuatu yang lebih atraktif dan mampu berinteraksi dengan kekinian tanpa mengurangi bobot musikalitasnya. Bagaimana misalnya, menggabungkan Cilokaq yang berasal dari kazanah Lombok dengan unsur-unsur lainnya di Nusantara seperti Padang, Aceh atau Kalimantan. Sebab ia percaya, ada simpul-simpul yang menyatukan berbagai perbedaan penampakan dalam tradisi itu. Musik tak hanya dimainkan. Ia juga terus bergerak, bertegur sapa, singgah diberbagai lokus dalam kurun yang berbeda-beda. Membentuk tradisi dan memainkan peran sebagai komunikator antar jiwa.



Namun musik juga bersifat universal. Ia melampaui sekat-sekat ruang dan zaman. Barat atau timur. Tua atau muda. Berbahasa Inggris atau Spanyol. Karena itulah pada tahun 2008 ia nekad pergi ke Belanda dan berkeliling Eropa, main musik dikedai-kedai kecil dikota-kota yang disinggahi hingga di Austria. Dari lubuk hatinya terdalam, ia percaya energi musik akan mampu menyatukan dunia dengan segala perbedaan dan keunikannya.





KE INDIA, MENCARI AKAR



Pada tanggal 26 Januari hingga 8 Februari tahun 2011 ini Ary Juliyant berkesempatan melawat ke India. Menurutnya perjalanan itu sangat penting baginya. Ada apa dengan India? Bukan saja karena ke populeran Sittar atau Tablanya bila orang berbicara tentang musik India. Selalu, ada yang unik bila berbicara tentang blantika musik India dengan segala renik tradisinya itu. Konon ia selalu terinspirasi kata-kata Innayat Khan, seorang sufi yang juga musisi spiritualis, bahwa hakekat terdalam dari musik adalah bermusik tanpa memainkan alat musik. Bagaimana bisa? Begitulah, kearifan bermusik mampu pula mengantarkan seseorang sampai kepada pemahaman religiusitas, spiritualitas yang mendalam.



Bagi Ary Juliyant, musik berarti juga energi kehidupan. dengan energi itu daya hidup, spirit, optimisme ditumbuh kembangkan. ia menyukai warna-warna dinamis dalam musiknya. karakter itu tentu lekat dengan musik "ke-Timuran" seperti di India. Musik Raga, meditasi, menapaki lorong-lorong pencapaian diri. dan di India, ia berharap mampu menggumuli semua pengalaman itu, selain juga warna trans-culturatifnya tentu saja.



India, bagi sebagian besar kita adalah muasal banyak tradisi yang kini berkembang di Nusantara. Dari Epos ramayana, Mahabarata juga kebudayaan kontemporer melalui film-film Bollywood yang sangat digemari di Indonesia itu. Negara super besar yang dihuni hampir satu milyar manusia dengan segala macam perbedaan itu. Negeri, yang kata Dominique Lapierre dalam City of Joy, meskipun terlalu banyak orang mati dijalanan karena kemiskinan namun tetap meriah dan bersemangat dalam karnaval keagamaan dan budaya itu. Ya, itu pula yang dikatakan Ary Juliyant, betapa kehidupan seni-budaya, sangat hidup di anak benua yang bernama India itu. ”Banyak sekali festival, peringatan-peringatan...seolah tiada hari berlalu tanpa acara seni,”. Maka tak salah, jika Ary Juliyant mengatakan” ke India, untuk mencari akar...”. sebab betapa banyak varian budaya kita yang bersumber dan berakar dari India. Juga musik dan seni lainnya.



Di India, Ary Juliyant mengunjungi Bhopal, di sebuah distrik bernama Madya Pradesh. Bersama kawan-kawannya ia diundang dalam sebuah festival untuk memperingati hari Republik. Bukan hari kemerdekaan yang jatuh di bulan Agustus. Ia sempat berkolaborasi dengan beberapa seniman lokal India. Tak hanya musik, tapi ia juga membuat sebuah komposisi untuk mengiringi tari kontemporer. Saling bertukar pengalaman, tukar tekhnik dan interaksi rasa. Sebuah kegiatan dialog kebudayaan yang cukup indah dan menarik. Bahkan ia sempat diminta tampil dan diwawancarai oleh TV serta media massa lokal. Berbicara tentang perkembangan seni-budaya di Indonesia. Lebih jauh lagi, ia telah mengemban tugas sebagai duta budaya, meski tanpa dukungan sepeserpun dari pemerintah Indonesia.



Tak penting. Seniman selalu punya cara untuk berkelit dari keadaan, dari situasi paling ekstrim sekalipun. Itulah pentingnya ideologi gerilya. Itu pula yang dikatakan oleh salah seorang ”atase pertahanan RI di India; bahwa gerilya merupakan salah satu upaya menghadapi kendala dan tantangan, serta situasi yang kurang bersahabat. Dengan gerilyanya itu, Ary Juliyant justru ingin mengetengahkan musik sebagai bahasa persahabatan.



Seperti kebiasaannya, selama di India itu ia juga melakukan ”gerilya budaya”. Ia berkeliling dan konser di berbagai tempat. Terutama di New Delhi dan...Gujarat. ia sempat mencipta beberapa komposisi indah dan beberapa lagu, terutama berkaitan dengan pengalamannya selama perjalanan. Diantaranya adalah Wellcome to The Junggle of Chauri Bazar Delhi, sebuah pengalaman ketika ia naik kereta api ke Delhi. Ketika tiba distasion bawah tanah yang baru dibangun itu katanya, suasananya sangat mirip di Eropa, dan ketika ia melangkah keluar dari stasiun, pemandangannya sungguh kontras; hiruk pikuk keramaian dan bangunan-bangunan kusam meledakkan hati. Sebuah pengalaman trans cultural yang cukup menarik untuk disimak dari kacamata seorang seniman-musisi. Cara ia mengungkapkan, bagi publik yang belum pernah berkunjung kesana, mungkin sedikit berbeda dengan cara pandang jurnalistik. Sebagai seniman, tentu saja Ari juliyant tak hanya menangkap ekspresi dan impresi, ia juga merekam jejak yang tak sanggup diurai oleh kata-kata. sebuah gelaran realitas yang hanya mampu dihadirkan oleh warna musikalitasnya.



Di kesempatan lain misalnya, masih soal perjalanan dengan kereta api yang tak jauh berbeda dengan di Indonesia itu sebenarnya, ia mencipta Tamil Nadu ’Asrie’ Express. Bedanya untuk menghubungkan satu kota dengan kota lainnya, jarak tempuh bisa kereta api di India bisa mencapai ribuan kilometer dengan menghabiskan waktu berpuluh-puluh jam. Karena itu kereta api, bagi sebagian besar orang-orang yang hidup dan menyandarkan diri di dalamnya, sudah seperti rumah. Tempat singgah. Tempat menautkan hati dari berbagai kota dengan bermacam tujuan. Ia ingin seperti itu pula musiknya; mampu menghubungkan hati meski tersekat jarak.



Sesampai di Indonesia dan pulang ke Lombok, Ary Juliyant yang cukup fasih berbahasa Sasak itu beraktivitas seperti biasanya. Ia singgah dikedai kopi pak Jack yang berada di pojok taman budaya. Katanya ada undangan dari sebuah komunitas mahasiswa untuk mengisi acara mereka. Iapun tetap menjalaninya dengan penuh kerendahan hati dan ...dedikasi tentunya. Baginya, musik itu untuk siapa saja.



Terus berkarya Kang Ary....Bravo!



Batudawa, 21/02/2011

Jumat, 08 Oktober 2010

ART IN LOMBOK

THE HIDDEN TREASURE IN LOMBOK ISLAND


Ocean is a mystery.

Approximately 70% of earth consist of ocean and many part of it not yet been seen trough, many secrets not yet been revealed from its depth, such as its flora and fauna, as well as minerals and all the complexities hide in it. In long history of human life, ocean is more than a place where fishes is alive, it has been tended with loving care by those who puts their living on it, and in turn it has becomes a heaven for a myriad of leaving creatures. Ocean is the life it self. Penetrated into human life.

Ocean is an inspiration with no boundaries, a great poetry, and a beauty higher than its own shadow. So was said Husin Nanang who born and grew up in the middle of an old city harbor in a small island surrounded by the sea. His life could not be detached from ocean. It has becomes his life. He was born in Kampung Melayu, Ampenan, Lombok Island, an island between the long lines of Nusa Tenggara. For him, ocean is not anymore a fiction in distance away from his life. Every day, every moment he heals the salty air of its air along with his true life story. Scattered bivalves on the beach, the carpet of sands, the dashing waves, the horizon line separated the blue sea and the sky, the ships that come and go, the crowd of loading and unloading activities, adventures story and the seaman ancient melancholy, the fierce weather, storm, foundered ships, unsheltered century, the fisherman misery, dirty and dense houses, the inhabitants melodrama... all those are very well recorded in his visual percep-tion.

It is true, there is a large number of pinters inspired by their closest environment. Therefore, it gives a deeper meaning, that way, the artist is not demanded to walk away and feel as stranger from the life he is familiar with. But if we take a deep look at his work, there is another stabbing call and need to be uncovered immediately. It is not a mere sight of beautifulness from the visual image of the master piece. It is a living poetry transformed in to a very closeness. He is not simply painting or story telling. He paints the life in his work. Taking along his appreciant deep down in to the earth with no edge.

Observing the master pieces with its details. He paints unlike the other painters who paint on canvas, otherwise he paints on high quality of wood to replace canvas and frames. He collected all the things he could found on the sea shore, bivalves, sea shells, broken glasses, old broken ceramics aged of hundreds years, fish bones, sea horses, he put them all in to a collage as a unity of his work.

Those items do not stick on the wood as a mere decoration. They are part of the story, of a deep description he tries to emerge. As the history becomes old by the time, he puts them back in to their new sense. He stated “Most of people collecting rare goods aged of hundreds years such as Porcelain from China, ancient inscription etc, as if they were the master of the history. But they forget they are ignorance towards those that scattered. Let me collect them and read what is for the rest of people are worthless. This way, maybe, I or other people that look at my work will be able to find what is visible or unnoticed by other people.

That is the simplicity of Husin Nanang. It also could be clearly seen trough his work. Not complicated, simple, with less word. The theme in his work is quite simple but need a high perseverance, a great know-how, and a sharp observation during the whole process. The colors and the scratches he made leave such a deep impression as he wants. A deep structure emerges to the surface. He for instance, fond to paint fishes. This has becomes a powerful analogy for the message he is trying to expose trough his work.

Let's have a look at some of his work. Pogot (2006) is a fish lives in coral. It is not a decorative fish. It has an ugly shape. The fishermen usually catch those using spears; eat them as complement for bekibung serving (Tuak drinking ceremony, Lombok traditional drink contains high alcohol). Or Langoan Head (2006), sea Arwana which is started to disappeared. He meant to expose only the head of the fish, to give more pressure on the expression. His third master piece, Two Sides Conversation (Percakapan Dua Sisi, 2006), describing a dialog between a deep ocean fish (in his visual performance using shadow technique) with a shallow sea fish which is visually more attractive. This is an appropriate metaphor to describe two different sides that sometimes come into confrontation, tough they look living in harmony from distance. This kind of phenomenon is common in our daily life.

But he neither lecturing his appresiant. He sometimes presents some kind of satire. In Seven Jellyfish ( 2006) for example, a beautiful floating creatures in the water. He narrated one day he found fishermen pulling his net to the coast. The net was just so heavy that it has to be pulled by 30 people. As it gets to the beach, how disappointed they were, because with the hard work all they got were jellyfish. He also paints seven jellyfish in purpose as a symbol of victory.

As a human being, he sometimes inserts a melancholy of his own personal isolation in the middle of life change and paradox. In his work, Boyan (2005), a tiny and grace baliness traditional sampan look like marlyn fish. He paints them separately. One is in the sea, and the rest three broken heaped up at the beach. In the middle of life dazzling waves, he feels as if he were all alone, lonely and far from no where. Then, he remembers a lyric of an old popular pop song, 'You are men, you will be alone'.

Ocean it is keeps its own secrets. He might be so calm in time, as tempting as shown in one of his work; something Doze in My Passion (2006). Like jazz, pounding in an unsure plot, full of improvisation. Or a grieve shrieking voice in Simfoni yang Membatu (Petrify Symphony, 2006), a picture of a violin made of shell's top. He, once again stressing a diorama about wound and pain. Isn't it that intact in human's life?

He made a sharp observation on the sea life. Sea Horse, a symbol of the most famous oil company in Indonesia. Not many people know that sea horse is a faithful creature. A sea horse will not re copulate if his mate dies. He prefers to live celibately. That might be the answer of their extinction. There, he adhere a real sea horse between two another big sea horses colored red and green. Represent the meaning of loyalty (green) and courage (red). It is contrast compare to Pusaran Nasib (The Cycle of Destiny, 2006), an endless circle, Misterium and Tremendum, throw a longing of humanity towards the depth of certainty, or a peak of glory. That life is so much relative, and therefore need a strong faith to go trough. And Husin Nanang trough his works, as if giving us a provision, for the entire human being, to read and understood, what is seen or abandon.

Less than a half of his works are truly personal. This makes them as something so unique, original and something very special from him. To my mind, trough persistence and hard work, he will get much more than what he is able to. He will be able to rise his works, artistcs expression trough paintings to an exceptional high level. None of art works in this world alike his works, both from artistic sides, depth meaning or material experiment.

Lombok Island so far known as a heaven on earth for tourist. For its natural beauty, strong character of its culture, and the living mystery inside. Husin Nanang work is one of the uncovered hidden treasures. Sooner or later, hard work of The Maestro will be widely known, easily noticed. He has come to bring new beauty to the world.[]

Paox Iben, the writer is an independent currator

The Director of KANAYAN ART HOUSE,

an art community in the island of Lombok.

Minggu, 03 Oktober 2010

INDUSTRI KREATIF KEMANDIRIAN

INDUSTRI KREATIF KEMANDIRIRIAN

TANTANGAN SENIMAN NTB

Oleh : Paox Iben Mudhaffar

A. Pendahuluan

Beberapa waktu yang lalu kita dibuat heboh, ketika batik dan keris yang merupakan warisan ‘asli’ bangsa Indonesia dipatenkan oleh Jiran kita. Belum hilang rasa jengkel kita, tiba-tiba tari Pendet dari Bali dan Reog yang asli Ponorogo muncul dalam iklan pariwisata mereka. Protes terjadi di mana-mana. Bahkan muncul berbagai umpatan sarkartis dan ajakan provokatif untuk mengganyang saudara kita sesama bangsa Melayu itu dengan alasan yang sangat masuk akal; kehormatan, harga diri, dan cinta tanah air!

Sebagai anak dari Ibu Pertiwi yang hampir kehilangan jati diri, jiwa nasionalisme kita seperti diuji. Sayapun terjebak dalam gegar patriotisme yang mengharu-biru itu. Tetapi melihat reaksi yang hampir seragam dan retorika kacangan seperti itu, saya justru menjadi cepat muak dengan cara penyikapan kita yang kekanak-kanakan dan terlihat bodoh itu. Sayapun lantas mencoba menelusuri dan mencari tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Serupa detektif Connan, saya mencoba menganalisa beberapa fakta sangat terbatas yang sanggup saya raih. Saya hanya bisa berharap bisa menemukan jawaban kuncinya. Dengan kunci itulah kita berharap bisa membuka pintu kesadaran; sim salabin ada kadabra, hitam menjadi putih sebagaimana malam bergerak ke arah siang.

Maka selama berbulan-bulan sayapun hibuk ber’semedi’ di dunia maya. Dan hasilnya? Terpujilah microsoft, Google, ekonomi gelombang ke tiga dan sebagainya. Semua data dan informasi yang saya perlukan tumpah ruah di sana. Di ruang antah berantah itu pula, saya dapati kenyataan yang cukup ambigu; betapa cinta itu memang sering membutakan, termasuk cinta tanah air. Melalui serat optik itu misalnya, kita tak hanya diajak untuk lebur dalam medan cahaya informatika dan melupakan batas-batas imajinasi serta ideologi, tetapi juga batas antar kenyataan semisal tanah air tempat kita hidup dan berpijak. Sebab tak ada batas kenegaraan atau kebangsaan yang jelas di negeri Cibernetik itu kecuali karena kita masih menggunakan bahasa Ibu pertiwi.

Bagi sebagian besar rakyat Indonesia—yang terbiasa dengan doktrin cinta tertutup alias cinta buta--Batik, Keris, Reog, Tempe dsb adalah produk budaya murni yang --kalaupun bisa diperdagangkan-- lebih dilihat sebagai kekuatan emotifnya daripada muatan bisnisnya. Batik, Keris, Reog, Tempe tersebut ádalah sebuah produk budaya yang menjadi identitas komunal dan mengikatkan jaring-jaring emosional antar pribadi. Karena ikatan tersebut, produk-produk itu seakan-akan murni hasil karya tradisi bangsa Indonesia, bahkan seringkali muncul satu klaim chauvinis bahwa khazanah itu hanya ada di Indonesia!

Bisa dimaklumi, bahwa selama ratusan tahun akibat penjajahan bangsa asing maupun bangsa sendiri, sesungguhnya kebudayaan kita sangat ter-isolir dan nyaris tidak berkembang. Hanya tersangkut dalam ranah tradisi yang sudah hampir pasti berkarat. Dan kita, atas dasar ‘kesetiaan buta’ mempertahankan hal tersebut dan menganggapnya sebagai warisan budaya adiluhung yang harus terus dipertahankan secara epigonis, narsis dan penuh bualan mitos.

Jika kita mengacu pada teori pergerakan budaya, maka Indonesia merupakan hasil ideo-sinkratisme dari kebudayaan-kebudayaan besar masa lalu yang lebih dulu eksis dibandingkan bangsa-bangsa di Nusantara, terutama India, Arab dan… kolonialisme Barat (setidaknya itu menurut profesor D. Lombart). Bahwa selalu ada yang unik dalam perjalanannya, seperti musik dangdut yang merupakan plagiatis musik India-melayu, cerita wayang ramayana dan Mahabarata dari India dsb, namun hampir keseluruhan peleburan itu tetap saja meninggalkan jejak. Semestinya hal tersebut membuat kita sadar bahwa tak ada satu bangsapun di dunia ini mampu eksis tanpa keterlibatan ‘budaya’ lain yang saling mempengaruhi secara signifikan. kita tidak bisa meng-klaim bahwa sesuatu merupakan warisan ‘asli’ bangsa sendiri.

Masalah Indonesia dan malaysia, semua juga tahu, bahwa hal itu tak lebih dari propaganda politik murahan. Namun hal tersebut seakan membuka mata bangsa kita tentang betapa pentingnya modal kebudayaan bagi kesejahteraan masyarakat dalam era kontemporer ini atau apa yang disebut dengan ekonomi kreatif.

B. Booming Wacana Ekonomi Kreatif

Menurut situs resmi Kementrian PERINDAG RI, sector ekonomi kreatif periode 2002-2006 saja rata-rata telah menyumbang PDB 106, 637 Trilyun Rupiah atau 6, 28% . Wooww, Ruuuarr Biasa. Melihat fakta itu, pemerintah RI pun bergegas menangkap durian runtuh. Bahkan presiden SBY sendiri dalam berbagai kesempatan terus berkoar-koar agar kita senantiasa mengembangkan ekonomi jenis ini. Asumsi mengapa Indonesia perlu mengembangkan ekonomi kreatif antara lain karena ekonomi kreatif berpotensi besar dalam: Memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan; Menciptakan Iklim bisnis yang positif; Membangun citra dan identitas bangsa; Mengembangkan ekonomi berbasis kepada sumber daya yang terbarukan; Menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa; Memberikan dampak sosial yang positif

Terjadilah booming wacana Ekonomi kreatif. Dimana-mana orang membicarakan ‘produk lama’ keluaran baru ini. Howkins (2001) dalam bukunya “The Creative Economy” menemukan kehadiran gelombang ekonomi kreatif setelah menyadari pertama kali pada tahun 1996 ekspor karya hak cipta Amerika Serikat mempunyai nilai penjualan sebesar US$ 60,18 miliar yang jauh melampaui ekspor sektor lainnya seperti otomotif, pertanian, dan pesawat. Menurut Howkins ekonomi baru telah muncul seputar industri kreatif yang dikendalikan oleh hukum kekayaan intelektual seperti paten, hak cipta, merek, royalti dan desain. Ekonomi kreatif merupakan pengembangan konsep berdasarkan aset kreatif yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. (Dos Santos, 2007).

Makhluk apakah sesungguhnya ekonomi/Industri kreatif itu?

Definisi industri kreatif yang saat ini banyak digunakan oleh pihak yang berkecimpung dalam bidang ini hádala definisi berdasarkan UK DCMS Taks force 1998 :

“Creative idustries as tose industries which have their origin in individual creativity, skill & talent, and which have a potencial for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property and content”

Para penganut paham ini di Indonesia selalu menyitir Alvin Toffler, sebagaimana yang juga di sampaikan Presiden SBY dalam salah satu pidatonya; Secara umum, sejarah perkembangan peradaban ekonomi dapat dibedakan menjadi empat jaman: (1) Jaman Pertanian; (2) Jaman Industri; (3) Jaman Informasi; (4) Jaman Konseptual. Kita telah melewati jaman pertanian, jaman industri dan jaman informasi. Peradaban ekonomi sekarang ini masuk pada jaman konseptual dimana pada jaman ini yang dibutuhkan adalah para kreator dan empathizer. Kemampuan untuk mewujudkan kreativitas yang diramu dengan sense atau nilai seni, teknologi, pengetahuan dan budaya menjadi modal dasar untuk menghadapi persaingan ekonomi, sehingga muncullah ekonomi kreatif sebagai alternatif pembangunan ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kata kuncinya ádalah konseptual. Di indonesia, hal ini kemudian diterjemahkan sebagai ide atau gagasan kreatif. Fokus pengembangannya pada hasil produksi gagasan tersebut yang harus dikembangkan secara masif untuk kemaslahatan bersama. Oleh karena itu ekonomi kreatif dalam tataran implementasinya bergerak menjadi industri kreatif.

EKonomi Kreatif, Kamuflase high kapitalism alias entran-ontran negara maju?

Karena sifatnya yang massif tersebut, secara serampangan, kata Ekonomi kreatifpun bergeser atau digeser menjadi Industri Kreatif. Tentu saja hal ini bukanlah semata persoalan semantik belaka. Perkembangan ekonomi kreatif merupakan perkembangan mutakhir setelah kita melewati jaman pertanian, industri dan informasi. Oleh karena itu ekonomi kreatif merupakan anak kandung dari jaman industri dan informasi yang merupakan satu rangkaian nalar. Sebab, sebenarnya hanya ada dua jaman yakni jaman pertanian dan jaman industri. Berbeda dengan jaman pertanian, jaman Informasi dan Konseptual merupakan zaman turunan atau anak kandung dunia industri.

Maka kitapun layak curiga, sesungguhnya wacana Ekonomi kreatif atau Industri kreatif hanyalah kamuflase dari kapitalisme tingkat tinggi yang bermetamorfosa. Sebuah frasa yang tentu saja sulit dicerna oleh kepala awam di dunia ketiga termasuk Indonesia. Sebab umum diketahui, kata Industri itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat high; modal, teknologi dan kekuasaan politik.

Jika kita menilik teori evolusi sederhana, maka Ekonomi Kreatif merupakan hasil terkini. Maka pertanyaannya adalah: BAGAIMANA MUNGKIN KITA AKAN BERJAYA DALAM SISTEM EKONOMI INI, SEMENTARA NALAR DAN KONSTRUKSI SOSIAL KITA MASIH TERJEBAK DALAM AREA GELOMBANG PERTAMA ALIAS MASIH BERMENTAL AGRARIS?

C. Industri Kreatif di Indonesia, Retórika atau Keniscayaan?

Terdapat 14 item yang didefinisikan sebagai Kelompok Industri kreatif :

  1. Periklanan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi dan produksi iklan, antara lain: riset pasar, perencanaan komunikasi iklan, iklan luar ruang, produksi material iklan, promosi, kampanye relasi publik, tampilan iklan di media cetak dan elektronik.
  2. Arsitektur: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan cetak biru bangunan dan informasi produksi antara lain: arsitektur taman, perencanaan kota, perencanaan biaya konstruksi, konservasi bangunan warisan, dokumentasi lelang, dll.
  3. Pasar seni dan barang antik: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi dan perdagangan, pekerjaan, produk antik dan hiasan melalui lelang, galeri, toko, pasar swalayan, dan internet.
  4. Kerajinan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi dan distribusi produk kerajinan antara lain barang kerajinan yang terbuat dari: batu berharga, aksesoris, pandai emas, perak, kayu, kaca, porselin, kain, marmer, kapur, dan besi.
  5. Desain: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain grafis, interior, produk, industri, pengemasan, dan konsultasi identitas perusahaan.
  6. Desain Fesyen: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain pakaian, desain alas kaki, dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesorisnya, konsultansi lini produk fesyen, serta distribusi produk fesyen.
  7. Video, Film dan Fotografi: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi produksi Video, film, dan jasa fotografi, serta distribusi rekaman video,film. Termasuk didalamnya penulisan skrip, dubbing film, sinematografi, sinetron, dan eksibisi film.
  8. Permainan interaktif: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi permainan komputer dan video yang bersifat hiburan, ketangkasan, dan edukasi.
  9. Musik: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, distribusi, dan ritel rekaman suara, hak cipta rekaman, promosi musik, penulis lirik, pencipta lagu atau musik, pertunjukan musik, penyanyi, dan komposisi musik.
  10. Seni Pertunjukan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha yang berkaitan dengan pengembangan konten, produksi pertunjukan, pertunjukan balet, tarian tradisional, tarian kontemporer, drama, musik tradisional, musik teater, opera, termasuk tur musik etnik, desain dan pembuatan busana pertunjukan, tata panggung, dan tata pencahayaan.
  11. Penerbitan & Percetakan : kegiatan kreatif yang terkait dengan dengan penulisan konten dan penerbitan buku, jurnal, koran, majalah, tabloid, dan konten digital serta kegiatan kantor berita.
  12. Layanan Komputer dan piranti lunak: kegiatan kreatif yang terkait dengan pengembangan teknologi informasi termasuk jasa layanan komputer, pengembangan piranti lunak, integrasi sistem, desain dan analisis sistem, desain arsitektur piranti lunak, desain prasarana piranti lunak & piranti keras, serta desain portal.
  13. Televisi & radio: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha kreasi, produksi dan pengemasan, penyiaran, dan transmisi televisi dan radio.
  14. Riset dan Pengembangan: kegiatan kreatif yang terkati dengan usaha inovatif yang menawarkan penemuan ilmu dan teknologi dan penerapan ilmu dan pengetahuan tersebut untuk perbaikan produk dan kreasi produk baru, proses baru, material baru, alat baru, metode baru, dan teknologi baru yang dapat memenuhi kebutuhan pasar.

Dari ke 14 jenis kelompok industri kreatif tersebut, hampir kesemuanya membutuhkan modal besar dan penguasaan tekhnologi yang super muthakhir. Kita tahu tak satupun perangkat tekhnologi tersebut diproduksi oleh bangsa kita. Itu artinya kita akan terus bergantung kepada pihak asing dan modal besar. Memang apa pengaruhnya? Bukankah investasi itu sesuatu yang wajar dan cukup membantu dalam aspek permodalan dan tekhnologi? Pengaruhnya cukup signifikan dalam mengendalikan aspek kreatifitas pada penyusunan produk. Sebab prasyarat bergulirnya investasi itu juga mereka berhak melakukan penetrasi termasuk memonopoli pasar.

Kenapa misalnya, musik atau industri perfilman kita tidak bisa mendunia padahal tekhnologi yang digunakan bisa jadi sama? Serta merta kitapun menyalahkan para pelaku industri perfilman; bahwa mereka kurang kreatif. Padahal yang terjadi justru sebaliknya, mereka bekerja dibawah tekanan para pemodal. Lihat saja kualitas sinetron atau lagu-lagu pop kita...

Sebuah produk tertentu dibuat tentu untuk dijual. Persoalannya dengan 200 juta penduduk kita masih dilihat sebagai pasar terbesar. Dengan memonopoli sektor produksi efek sesungguhnya adalah mengendalikan pasar. Maka logika sederhananya ‘ngapain berpikir capek-capek soal kualitas produk jika pasar sudah dikuasai? Bikin saja penonton (baca; konsumen) tidak punya pilihan, mau tidak mau mereka akan membeli. Dan itulah yang terjadi dalam industri film, musik dan intertainment kita. Maka boleh dikatakan, industri kreatif kita jalan di tempat.

Lalu bagaimana dengan sektor atau kelompok yang tidak terlalu bergantung dengan tekhnologi semisal industri kerajinan atau original craff? Meskipun hal tersebut masih relatif, karena hampir semua industri kerajinan membutuhkan tekhnologi tepat guna, kondisinya saya kira tidak jauh berbeda, sebab faktanya, sebagus apapun kreasi para pengrajin tidak mampu menghasilkan kesejahteraan yang maksimal. Mengapa demikian? Keterbatasan permodalan dan akses pasar menjadi kendala utama. Lagi-lagi persoalan klasik. Apakah tidak ada jalan lain, terutama untuk akses pasar tersebut? Persoalannya semakin kompleks ketika sebagian besar para pengrajin kita masih gaptek, belum lagi soal mekanisme ekspor yg cukup rumit.

Dibanding negara-negara lain seperti Malaysia dan Singapura kita sangat jauh ketinggalan dalam pengembangan Industri Kreatif ini. Lihat saja fenomena film kartun Upin-Ipin yang sangat digemari oleh anak-anak kita. Meskipun menurut kabar-kabur animasi film tersebut dibuat oleh ’orang indon’ namun tetap saja brandnya milik peng-order.

Dalam pengembangan Industri kreatif, Malaysia memiliki konsep menggali dan menonjolkan identitas nasional melalui budaya dan warisan budaya. Bahkan sebelum kedatangan gelombang ke empat ekonomi ini Malaysia telah memulai program-program berkaitan dengan budaya dan warisan budaya. Meskipun di dominasi etnis Melayu, pemerintah Malaysia sadar betul jika negaranya merupakan wujud persilangan budaya, oleh karena itu mereka menekankan pentingnya kehidupan multikultur dalam kehidupan keseharian warganya. Bahkan mereka lebih berani dengan menaikkan iklan ”Trully Asia” atau Asia yang sebenarnya, sebagai ikon utama pariwisata mereka. Semua itu bukan omong kosong karena pemerintah Malaysia dengan serius mengembangkan aspek-aspek warisan budaya yang mereka miliki dengan memberi porsi perhatian yang sama terhadap semua entitas budaya yang ada di Malaysia.

Agar lebih memberi kontribusi secara ekonomi, selain juga membentuk identitas nasional, pemerintah Malaysia menyadari pentingnya kolaborasi antara pemerintah, universitas dan industri. Pemerintah bersama-sama dengan cendekiawan kemudian membentuk Malaysian Desaign Innovation Centre (MDIC) yang berpusat di Cyberjaya. Lembaga ini memilikitugaskusus dalam pengembangan industri kreatif di Malaysia.

Bagaimana dengan Indonesia?

Pemerintah Indonesia terlihat lebih banyak beretorika daripada melakukan upaya-upaya nyata untuk mendukung industri kreatif ini. Departemen Perdagangan RI baru mencanangkan tahun 2025 sebagai Tahun Industri Kreatif Indonesia. Sungguh mengenaskan, meskipun dengan segala apologi segala sesuatunya perlu persiapan dan perencanaan yang matang, kita tidak tahu apa yang terjadi dalam kurun 5, 10 atau 15 Tahun ke depan. Instabilitas politik dalam pengertian sesunguhnya membawa dampak tersendiri terhadap arah kebijakan nasional. Kita sama-sama tahu, setiap terjadi pergantian kepemimpinan nasional, berganti pula arah kebijakannya.

Lalu apa yang bisa diharapkan dari pemerintah?

Setidaknya pemerintah kita, baik pusat maupun di daerah harus lebih membuka mata terhadap persoalan ini. Kata kuncinya saya kira adalah keberpihakan pada ekonomi kerakyatan. Mengapa demikian? Sebab pelaku ekonomi atau industri kreatif adalah masyarakat luas terutama pada sektor-sektor informal.

D. INDUSTRI KREATIF : Tantangan Bagi Seniman di NTB

Konon, dalam sistem ekonomi kreatif ini semua orang bebas berkreasi. Kreatifitas menjadi dewa baru. Benarkah? Seseorang bebas melakukan memajang hasil karyanya dan bertransaksi melalui internet. Peran negara atau pemerintah menjadi tidak penting lagi dalam mengatur perdagangan. Dunia yang kasat digantingan dengan perangkat maya. Tetapi apakah para pengrajin di Penujak-Lombok Selatan memahami hal ini? Apakah pemerintah propinsi Nusa Tenggara Barat memiliki gedung pertunjukan atau ruang pamer yang cukup pantas untuk mementaskan karya kreatif para seniman? Disain-disain terbaru terus bermunculan. Ide dan gagasan-gagasan berseliweran. Para seniman, terus berlomba mencipta dan menongolah segalapotensi dengan segerap jira-raga. Sementara negara, masih saja mempersulit aspek permodalan untuk rakyat kecil, mempersulit regulasi perdagangan, justru membiakkan kredit konsumsi melalui perusahaan lissing yang menjamur menawarkan ‘kredit talangan’ barang-barang pabrikan buatan jepang dan China.

Kehidupan seniman, di Eropa, Amerika, China, Jepang atau di Lombok, di langit atau di dasar laut, memiliki garis hidup yang hampir sama; terlahir sebagai mahluk kreator! yang membedakan adalah iklim berkreasi dan perangkat yang digunakannya, serta tentu saja; medan bisnisnya!

Maka membaca peluang ekonomi kreatif atau industri kreatif di NTB mustahil tanpa mendedah arah strategi kebudayaan yang melingkupinya (Waaahhh…bisa diskusi panjang dan melelahkan lagi tuch! capek deh). Mungkin kita perlu menyederhanakannya dengan beberapa analog; Jika Capuera dari brazil atau Silat Thai bisa mendunia, kenapa Pereseian atau Gendang Beleq tidak? Jika pementasan Illagaligo dari Macasar bisa berkeliling dunia, mengana drama Mandalika atau Cilinaya susah untuk sekedar pentas di TIM?

Katanya NTB merupakan daerah tujuan Wisata internasional, berarti NTB telah memiliki akses dan jaringan yang mendunia, dong? Jangan cuman masjidnya yang diperbesar, tapi ruang-ruang kreatifnya juga harus diperlebar dan dipertajam. Pemerintah daerah sendiri telah mencanangkan 1.000.000 wisatawan yang akan berkunjung pada tahun 2012. Bagaimana persiapannya? Apakah para senimannya sibuk mempersiapkan diri untuk memasuki kancah yang lebih luas? Garapan-garapan baru barangkali, pentas eksperimentasi atau sekedar kreasi dari tari klasik terus dipentaskan dan diperbincangkan? Pameran-pameran senirupa dan penjualan karya seni bernilai fantastis menghiasi halaman depan suratkabar terbesar di NTB?

Okrey, bagaimana dengan peluang pasar domestik alias lokal? Sudah banyakkah buku-buku bermutu dicetak, VCD-VCD kesenian rakyat beredar dimasyarakat? Kenapa lagu-lagu kreatif Lalu Nasib dicekal, sementara video porno salah satu Bupati terpilih di Lombok Selatan beredar dimana-mana?

Apakah anak-anak muda di Mataram lebih gemar memakai kaos oblong bergambar Tokek atau Gule Gending buatan Tettu-tettu dibanding kaos bekas dari pasar loak karang sukun bergambar Kurt Cobain? Apakah anak-anak gaul di Bima hafal lagu-lagunya Tommy Balukea yang sudah go international itu atau hanya lagu-laguya Eka Bima?

Saya percaya, dengan banyak bertanya maka berjuta pintu kemungkinan akan terbuka. Dengan banyak eksperimen dan berkreasi maka peluang-peluang akan terus bermunculan. Itulah makna hakiki dari kreativitas. Bagaimana hal tersebut bisa diwujudkan?

Saat ini propinsi NTB menempati posisi terakhir dalam perolehan indeks prestasi manusia (IPM) di Indonesia. Selain mengejar ketertinggalan dari sisi pendidikan formal, pendidikan informal yang berorientasi pada daya kreativitas generasi muda terutama, saya kira perlu diberikan Porsi yang lebih luas.

Bagi para seniman, satu hal yang juga harus disadari, aspek kreativitas itu tidak berhenti pada tataran produk. Seorang seniman, selain mahir berkarya juga dituntut untuk memiliki jiwa enterprenurship/kewira-usahaan. Sebab sebagus apapun seorang seniman mampu membuat karya, maka hasil karya tersebut hanya akan dinikmati sendiri jika tidak mampu di’lempar’kan ke Publik yang lebih luas. Jiwa kewirausahaan tersebut juga akan menjamin kemandirian seniman dalam berkarya.

F. Penutup

Diterima atau tidak, trend ekonomi kreatif atau industri kreatif merupakan sesuatu yang tak bisa dipungkiri keberadaannya. Jika kita berpikir dalam kerangka positif, tentu akan banyak manfaatnya. Tetapi kita juga perlu menyikapinya secara kritis, sebab apapun itu akan berdampak pada arah kehidupan yang akan kita kita susun ke depan.

Jika kita mengacu pada pengertian definitifnya, industri kreatif adalah industri yang mengandalkan talenta, keterampilan dan creativitas yang merupakan elemen dasar individu sehingga potensi kreatif terdapat pada semua orang. Persoalannya adalah bagaimana kita mampu mengembangkan hal tersebut secara bersama dalam konteks yang lebih luas. Maka yang diperlukan ádalah membangun atmosfer atau iklim kreatifitas. Pemerintah, pelaku usa dan masyarakat secara luas harus berusaha bersama untuk mendukung hal tersebut. Mungkin perlu kerangka aksi yang lebih realistis untuk mewujudkan hal tersebut, selain semangat, kemauan dan usa terus menerus. Bangsa yang esar adalah bangsa yang mampu menghargai kreativitas…

Wassalam.

Mataram, 1 Oktober 2010

Paox Iben Mudhaffar, Penulis adalah penggiat seni-budaya di NTB. Mendirikan INSTITUT RUMAH ARUS(IRUS), sebuah lembaga kajian budaya dan transformasi sosial. Saat ini juga menjabat sebagai direktur KANAYAN Arthouse.