Minggu, 03 Oktober 2010

INDUSTRI KREATIF KEMANDIRIAN

INDUSTRI KREATIF KEMANDIRIRIAN

TANTANGAN SENIMAN NTB

Oleh : Paox Iben Mudhaffar

A. Pendahuluan

Beberapa waktu yang lalu kita dibuat heboh, ketika batik dan keris yang merupakan warisan ‘asli’ bangsa Indonesia dipatenkan oleh Jiran kita. Belum hilang rasa jengkel kita, tiba-tiba tari Pendet dari Bali dan Reog yang asli Ponorogo muncul dalam iklan pariwisata mereka. Protes terjadi di mana-mana. Bahkan muncul berbagai umpatan sarkartis dan ajakan provokatif untuk mengganyang saudara kita sesama bangsa Melayu itu dengan alasan yang sangat masuk akal; kehormatan, harga diri, dan cinta tanah air!

Sebagai anak dari Ibu Pertiwi yang hampir kehilangan jati diri, jiwa nasionalisme kita seperti diuji. Sayapun terjebak dalam gegar patriotisme yang mengharu-biru itu. Tetapi melihat reaksi yang hampir seragam dan retorika kacangan seperti itu, saya justru menjadi cepat muak dengan cara penyikapan kita yang kekanak-kanakan dan terlihat bodoh itu. Sayapun lantas mencoba menelusuri dan mencari tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Serupa detektif Connan, saya mencoba menganalisa beberapa fakta sangat terbatas yang sanggup saya raih. Saya hanya bisa berharap bisa menemukan jawaban kuncinya. Dengan kunci itulah kita berharap bisa membuka pintu kesadaran; sim salabin ada kadabra, hitam menjadi putih sebagaimana malam bergerak ke arah siang.

Maka selama berbulan-bulan sayapun hibuk ber’semedi’ di dunia maya. Dan hasilnya? Terpujilah microsoft, Google, ekonomi gelombang ke tiga dan sebagainya. Semua data dan informasi yang saya perlukan tumpah ruah di sana. Di ruang antah berantah itu pula, saya dapati kenyataan yang cukup ambigu; betapa cinta itu memang sering membutakan, termasuk cinta tanah air. Melalui serat optik itu misalnya, kita tak hanya diajak untuk lebur dalam medan cahaya informatika dan melupakan batas-batas imajinasi serta ideologi, tetapi juga batas antar kenyataan semisal tanah air tempat kita hidup dan berpijak. Sebab tak ada batas kenegaraan atau kebangsaan yang jelas di negeri Cibernetik itu kecuali karena kita masih menggunakan bahasa Ibu pertiwi.

Bagi sebagian besar rakyat Indonesia—yang terbiasa dengan doktrin cinta tertutup alias cinta buta--Batik, Keris, Reog, Tempe dsb adalah produk budaya murni yang --kalaupun bisa diperdagangkan-- lebih dilihat sebagai kekuatan emotifnya daripada muatan bisnisnya. Batik, Keris, Reog, Tempe tersebut ádalah sebuah produk budaya yang menjadi identitas komunal dan mengikatkan jaring-jaring emosional antar pribadi. Karena ikatan tersebut, produk-produk itu seakan-akan murni hasil karya tradisi bangsa Indonesia, bahkan seringkali muncul satu klaim chauvinis bahwa khazanah itu hanya ada di Indonesia!

Bisa dimaklumi, bahwa selama ratusan tahun akibat penjajahan bangsa asing maupun bangsa sendiri, sesungguhnya kebudayaan kita sangat ter-isolir dan nyaris tidak berkembang. Hanya tersangkut dalam ranah tradisi yang sudah hampir pasti berkarat. Dan kita, atas dasar ‘kesetiaan buta’ mempertahankan hal tersebut dan menganggapnya sebagai warisan budaya adiluhung yang harus terus dipertahankan secara epigonis, narsis dan penuh bualan mitos.

Jika kita mengacu pada teori pergerakan budaya, maka Indonesia merupakan hasil ideo-sinkratisme dari kebudayaan-kebudayaan besar masa lalu yang lebih dulu eksis dibandingkan bangsa-bangsa di Nusantara, terutama India, Arab dan… kolonialisme Barat (setidaknya itu menurut profesor D. Lombart). Bahwa selalu ada yang unik dalam perjalanannya, seperti musik dangdut yang merupakan plagiatis musik India-melayu, cerita wayang ramayana dan Mahabarata dari India dsb, namun hampir keseluruhan peleburan itu tetap saja meninggalkan jejak. Semestinya hal tersebut membuat kita sadar bahwa tak ada satu bangsapun di dunia ini mampu eksis tanpa keterlibatan ‘budaya’ lain yang saling mempengaruhi secara signifikan. kita tidak bisa meng-klaim bahwa sesuatu merupakan warisan ‘asli’ bangsa sendiri.

Masalah Indonesia dan malaysia, semua juga tahu, bahwa hal itu tak lebih dari propaganda politik murahan. Namun hal tersebut seakan membuka mata bangsa kita tentang betapa pentingnya modal kebudayaan bagi kesejahteraan masyarakat dalam era kontemporer ini atau apa yang disebut dengan ekonomi kreatif.

B. Booming Wacana Ekonomi Kreatif

Menurut situs resmi Kementrian PERINDAG RI, sector ekonomi kreatif periode 2002-2006 saja rata-rata telah menyumbang PDB 106, 637 Trilyun Rupiah atau 6, 28% . Wooww, Ruuuarr Biasa. Melihat fakta itu, pemerintah RI pun bergegas menangkap durian runtuh. Bahkan presiden SBY sendiri dalam berbagai kesempatan terus berkoar-koar agar kita senantiasa mengembangkan ekonomi jenis ini. Asumsi mengapa Indonesia perlu mengembangkan ekonomi kreatif antara lain karena ekonomi kreatif berpotensi besar dalam: Memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan; Menciptakan Iklim bisnis yang positif; Membangun citra dan identitas bangsa; Mengembangkan ekonomi berbasis kepada sumber daya yang terbarukan; Menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa; Memberikan dampak sosial yang positif

Terjadilah booming wacana Ekonomi kreatif. Dimana-mana orang membicarakan ‘produk lama’ keluaran baru ini. Howkins (2001) dalam bukunya “The Creative Economy” menemukan kehadiran gelombang ekonomi kreatif setelah menyadari pertama kali pada tahun 1996 ekspor karya hak cipta Amerika Serikat mempunyai nilai penjualan sebesar US$ 60,18 miliar yang jauh melampaui ekspor sektor lainnya seperti otomotif, pertanian, dan pesawat. Menurut Howkins ekonomi baru telah muncul seputar industri kreatif yang dikendalikan oleh hukum kekayaan intelektual seperti paten, hak cipta, merek, royalti dan desain. Ekonomi kreatif merupakan pengembangan konsep berdasarkan aset kreatif yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. (Dos Santos, 2007).

Makhluk apakah sesungguhnya ekonomi/Industri kreatif itu?

Definisi industri kreatif yang saat ini banyak digunakan oleh pihak yang berkecimpung dalam bidang ini hádala definisi berdasarkan UK DCMS Taks force 1998 :

“Creative idustries as tose industries which have their origin in individual creativity, skill & talent, and which have a potencial for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property and content”

Para penganut paham ini di Indonesia selalu menyitir Alvin Toffler, sebagaimana yang juga di sampaikan Presiden SBY dalam salah satu pidatonya; Secara umum, sejarah perkembangan peradaban ekonomi dapat dibedakan menjadi empat jaman: (1) Jaman Pertanian; (2) Jaman Industri; (3) Jaman Informasi; (4) Jaman Konseptual. Kita telah melewati jaman pertanian, jaman industri dan jaman informasi. Peradaban ekonomi sekarang ini masuk pada jaman konseptual dimana pada jaman ini yang dibutuhkan adalah para kreator dan empathizer. Kemampuan untuk mewujudkan kreativitas yang diramu dengan sense atau nilai seni, teknologi, pengetahuan dan budaya menjadi modal dasar untuk menghadapi persaingan ekonomi, sehingga muncullah ekonomi kreatif sebagai alternatif pembangunan ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kata kuncinya ádalah konseptual. Di indonesia, hal ini kemudian diterjemahkan sebagai ide atau gagasan kreatif. Fokus pengembangannya pada hasil produksi gagasan tersebut yang harus dikembangkan secara masif untuk kemaslahatan bersama. Oleh karena itu ekonomi kreatif dalam tataran implementasinya bergerak menjadi industri kreatif.

EKonomi Kreatif, Kamuflase high kapitalism alias entran-ontran negara maju?

Karena sifatnya yang massif tersebut, secara serampangan, kata Ekonomi kreatifpun bergeser atau digeser menjadi Industri Kreatif. Tentu saja hal ini bukanlah semata persoalan semantik belaka. Perkembangan ekonomi kreatif merupakan perkembangan mutakhir setelah kita melewati jaman pertanian, industri dan informasi. Oleh karena itu ekonomi kreatif merupakan anak kandung dari jaman industri dan informasi yang merupakan satu rangkaian nalar. Sebab, sebenarnya hanya ada dua jaman yakni jaman pertanian dan jaman industri. Berbeda dengan jaman pertanian, jaman Informasi dan Konseptual merupakan zaman turunan atau anak kandung dunia industri.

Maka kitapun layak curiga, sesungguhnya wacana Ekonomi kreatif atau Industri kreatif hanyalah kamuflase dari kapitalisme tingkat tinggi yang bermetamorfosa. Sebuah frasa yang tentu saja sulit dicerna oleh kepala awam di dunia ketiga termasuk Indonesia. Sebab umum diketahui, kata Industri itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat high; modal, teknologi dan kekuasaan politik.

Jika kita menilik teori evolusi sederhana, maka Ekonomi Kreatif merupakan hasil terkini. Maka pertanyaannya adalah: BAGAIMANA MUNGKIN KITA AKAN BERJAYA DALAM SISTEM EKONOMI INI, SEMENTARA NALAR DAN KONSTRUKSI SOSIAL KITA MASIH TERJEBAK DALAM AREA GELOMBANG PERTAMA ALIAS MASIH BERMENTAL AGRARIS?

C. Industri Kreatif di Indonesia, Retórika atau Keniscayaan?

Terdapat 14 item yang didefinisikan sebagai Kelompok Industri kreatif :

  1. Periklanan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi dan produksi iklan, antara lain: riset pasar, perencanaan komunikasi iklan, iklan luar ruang, produksi material iklan, promosi, kampanye relasi publik, tampilan iklan di media cetak dan elektronik.
  2. Arsitektur: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan cetak biru bangunan dan informasi produksi antara lain: arsitektur taman, perencanaan kota, perencanaan biaya konstruksi, konservasi bangunan warisan, dokumentasi lelang, dll.
  3. Pasar seni dan barang antik: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi dan perdagangan, pekerjaan, produk antik dan hiasan melalui lelang, galeri, toko, pasar swalayan, dan internet.
  4. Kerajinan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi dan distribusi produk kerajinan antara lain barang kerajinan yang terbuat dari: batu berharga, aksesoris, pandai emas, perak, kayu, kaca, porselin, kain, marmer, kapur, dan besi.
  5. Desain: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain grafis, interior, produk, industri, pengemasan, dan konsultasi identitas perusahaan.
  6. Desain Fesyen: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain pakaian, desain alas kaki, dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesorisnya, konsultansi lini produk fesyen, serta distribusi produk fesyen.
  7. Video, Film dan Fotografi: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi produksi Video, film, dan jasa fotografi, serta distribusi rekaman video,film. Termasuk didalamnya penulisan skrip, dubbing film, sinematografi, sinetron, dan eksibisi film.
  8. Permainan interaktif: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi permainan komputer dan video yang bersifat hiburan, ketangkasan, dan edukasi.
  9. Musik: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, distribusi, dan ritel rekaman suara, hak cipta rekaman, promosi musik, penulis lirik, pencipta lagu atau musik, pertunjukan musik, penyanyi, dan komposisi musik.
  10. Seni Pertunjukan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha yang berkaitan dengan pengembangan konten, produksi pertunjukan, pertunjukan balet, tarian tradisional, tarian kontemporer, drama, musik tradisional, musik teater, opera, termasuk tur musik etnik, desain dan pembuatan busana pertunjukan, tata panggung, dan tata pencahayaan.
  11. Penerbitan & Percetakan : kegiatan kreatif yang terkait dengan dengan penulisan konten dan penerbitan buku, jurnal, koran, majalah, tabloid, dan konten digital serta kegiatan kantor berita.
  12. Layanan Komputer dan piranti lunak: kegiatan kreatif yang terkait dengan pengembangan teknologi informasi termasuk jasa layanan komputer, pengembangan piranti lunak, integrasi sistem, desain dan analisis sistem, desain arsitektur piranti lunak, desain prasarana piranti lunak & piranti keras, serta desain portal.
  13. Televisi & radio: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha kreasi, produksi dan pengemasan, penyiaran, dan transmisi televisi dan radio.
  14. Riset dan Pengembangan: kegiatan kreatif yang terkati dengan usaha inovatif yang menawarkan penemuan ilmu dan teknologi dan penerapan ilmu dan pengetahuan tersebut untuk perbaikan produk dan kreasi produk baru, proses baru, material baru, alat baru, metode baru, dan teknologi baru yang dapat memenuhi kebutuhan pasar.

Dari ke 14 jenis kelompok industri kreatif tersebut, hampir kesemuanya membutuhkan modal besar dan penguasaan tekhnologi yang super muthakhir. Kita tahu tak satupun perangkat tekhnologi tersebut diproduksi oleh bangsa kita. Itu artinya kita akan terus bergantung kepada pihak asing dan modal besar. Memang apa pengaruhnya? Bukankah investasi itu sesuatu yang wajar dan cukup membantu dalam aspek permodalan dan tekhnologi? Pengaruhnya cukup signifikan dalam mengendalikan aspek kreatifitas pada penyusunan produk. Sebab prasyarat bergulirnya investasi itu juga mereka berhak melakukan penetrasi termasuk memonopoli pasar.

Kenapa misalnya, musik atau industri perfilman kita tidak bisa mendunia padahal tekhnologi yang digunakan bisa jadi sama? Serta merta kitapun menyalahkan para pelaku industri perfilman; bahwa mereka kurang kreatif. Padahal yang terjadi justru sebaliknya, mereka bekerja dibawah tekanan para pemodal. Lihat saja kualitas sinetron atau lagu-lagu pop kita...

Sebuah produk tertentu dibuat tentu untuk dijual. Persoalannya dengan 200 juta penduduk kita masih dilihat sebagai pasar terbesar. Dengan memonopoli sektor produksi efek sesungguhnya adalah mengendalikan pasar. Maka logika sederhananya ‘ngapain berpikir capek-capek soal kualitas produk jika pasar sudah dikuasai? Bikin saja penonton (baca; konsumen) tidak punya pilihan, mau tidak mau mereka akan membeli. Dan itulah yang terjadi dalam industri film, musik dan intertainment kita. Maka boleh dikatakan, industri kreatif kita jalan di tempat.

Lalu bagaimana dengan sektor atau kelompok yang tidak terlalu bergantung dengan tekhnologi semisal industri kerajinan atau original craff? Meskipun hal tersebut masih relatif, karena hampir semua industri kerajinan membutuhkan tekhnologi tepat guna, kondisinya saya kira tidak jauh berbeda, sebab faktanya, sebagus apapun kreasi para pengrajin tidak mampu menghasilkan kesejahteraan yang maksimal. Mengapa demikian? Keterbatasan permodalan dan akses pasar menjadi kendala utama. Lagi-lagi persoalan klasik. Apakah tidak ada jalan lain, terutama untuk akses pasar tersebut? Persoalannya semakin kompleks ketika sebagian besar para pengrajin kita masih gaptek, belum lagi soal mekanisme ekspor yg cukup rumit.

Dibanding negara-negara lain seperti Malaysia dan Singapura kita sangat jauh ketinggalan dalam pengembangan Industri Kreatif ini. Lihat saja fenomena film kartun Upin-Ipin yang sangat digemari oleh anak-anak kita. Meskipun menurut kabar-kabur animasi film tersebut dibuat oleh ’orang indon’ namun tetap saja brandnya milik peng-order.

Dalam pengembangan Industri kreatif, Malaysia memiliki konsep menggali dan menonjolkan identitas nasional melalui budaya dan warisan budaya. Bahkan sebelum kedatangan gelombang ke empat ekonomi ini Malaysia telah memulai program-program berkaitan dengan budaya dan warisan budaya. Meskipun di dominasi etnis Melayu, pemerintah Malaysia sadar betul jika negaranya merupakan wujud persilangan budaya, oleh karena itu mereka menekankan pentingnya kehidupan multikultur dalam kehidupan keseharian warganya. Bahkan mereka lebih berani dengan menaikkan iklan ”Trully Asia” atau Asia yang sebenarnya, sebagai ikon utama pariwisata mereka. Semua itu bukan omong kosong karena pemerintah Malaysia dengan serius mengembangkan aspek-aspek warisan budaya yang mereka miliki dengan memberi porsi perhatian yang sama terhadap semua entitas budaya yang ada di Malaysia.

Agar lebih memberi kontribusi secara ekonomi, selain juga membentuk identitas nasional, pemerintah Malaysia menyadari pentingnya kolaborasi antara pemerintah, universitas dan industri. Pemerintah bersama-sama dengan cendekiawan kemudian membentuk Malaysian Desaign Innovation Centre (MDIC) yang berpusat di Cyberjaya. Lembaga ini memilikitugaskusus dalam pengembangan industri kreatif di Malaysia.

Bagaimana dengan Indonesia?

Pemerintah Indonesia terlihat lebih banyak beretorika daripada melakukan upaya-upaya nyata untuk mendukung industri kreatif ini. Departemen Perdagangan RI baru mencanangkan tahun 2025 sebagai Tahun Industri Kreatif Indonesia. Sungguh mengenaskan, meskipun dengan segala apologi segala sesuatunya perlu persiapan dan perencanaan yang matang, kita tidak tahu apa yang terjadi dalam kurun 5, 10 atau 15 Tahun ke depan. Instabilitas politik dalam pengertian sesunguhnya membawa dampak tersendiri terhadap arah kebijakan nasional. Kita sama-sama tahu, setiap terjadi pergantian kepemimpinan nasional, berganti pula arah kebijakannya.

Lalu apa yang bisa diharapkan dari pemerintah?

Setidaknya pemerintah kita, baik pusat maupun di daerah harus lebih membuka mata terhadap persoalan ini. Kata kuncinya saya kira adalah keberpihakan pada ekonomi kerakyatan. Mengapa demikian? Sebab pelaku ekonomi atau industri kreatif adalah masyarakat luas terutama pada sektor-sektor informal.

D. INDUSTRI KREATIF : Tantangan Bagi Seniman di NTB

Konon, dalam sistem ekonomi kreatif ini semua orang bebas berkreasi. Kreatifitas menjadi dewa baru. Benarkah? Seseorang bebas melakukan memajang hasil karyanya dan bertransaksi melalui internet. Peran negara atau pemerintah menjadi tidak penting lagi dalam mengatur perdagangan. Dunia yang kasat digantingan dengan perangkat maya. Tetapi apakah para pengrajin di Penujak-Lombok Selatan memahami hal ini? Apakah pemerintah propinsi Nusa Tenggara Barat memiliki gedung pertunjukan atau ruang pamer yang cukup pantas untuk mementaskan karya kreatif para seniman? Disain-disain terbaru terus bermunculan. Ide dan gagasan-gagasan berseliweran. Para seniman, terus berlomba mencipta dan menongolah segalapotensi dengan segerap jira-raga. Sementara negara, masih saja mempersulit aspek permodalan untuk rakyat kecil, mempersulit regulasi perdagangan, justru membiakkan kredit konsumsi melalui perusahaan lissing yang menjamur menawarkan ‘kredit talangan’ barang-barang pabrikan buatan jepang dan China.

Kehidupan seniman, di Eropa, Amerika, China, Jepang atau di Lombok, di langit atau di dasar laut, memiliki garis hidup yang hampir sama; terlahir sebagai mahluk kreator! yang membedakan adalah iklim berkreasi dan perangkat yang digunakannya, serta tentu saja; medan bisnisnya!

Maka membaca peluang ekonomi kreatif atau industri kreatif di NTB mustahil tanpa mendedah arah strategi kebudayaan yang melingkupinya (Waaahhh…bisa diskusi panjang dan melelahkan lagi tuch! capek deh). Mungkin kita perlu menyederhanakannya dengan beberapa analog; Jika Capuera dari brazil atau Silat Thai bisa mendunia, kenapa Pereseian atau Gendang Beleq tidak? Jika pementasan Illagaligo dari Macasar bisa berkeliling dunia, mengana drama Mandalika atau Cilinaya susah untuk sekedar pentas di TIM?

Katanya NTB merupakan daerah tujuan Wisata internasional, berarti NTB telah memiliki akses dan jaringan yang mendunia, dong? Jangan cuman masjidnya yang diperbesar, tapi ruang-ruang kreatifnya juga harus diperlebar dan dipertajam. Pemerintah daerah sendiri telah mencanangkan 1.000.000 wisatawan yang akan berkunjung pada tahun 2012. Bagaimana persiapannya? Apakah para senimannya sibuk mempersiapkan diri untuk memasuki kancah yang lebih luas? Garapan-garapan baru barangkali, pentas eksperimentasi atau sekedar kreasi dari tari klasik terus dipentaskan dan diperbincangkan? Pameran-pameran senirupa dan penjualan karya seni bernilai fantastis menghiasi halaman depan suratkabar terbesar di NTB?

Okrey, bagaimana dengan peluang pasar domestik alias lokal? Sudah banyakkah buku-buku bermutu dicetak, VCD-VCD kesenian rakyat beredar dimasyarakat? Kenapa lagu-lagu kreatif Lalu Nasib dicekal, sementara video porno salah satu Bupati terpilih di Lombok Selatan beredar dimana-mana?

Apakah anak-anak muda di Mataram lebih gemar memakai kaos oblong bergambar Tokek atau Gule Gending buatan Tettu-tettu dibanding kaos bekas dari pasar loak karang sukun bergambar Kurt Cobain? Apakah anak-anak gaul di Bima hafal lagu-lagunya Tommy Balukea yang sudah go international itu atau hanya lagu-laguya Eka Bima?

Saya percaya, dengan banyak bertanya maka berjuta pintu kemungkinan akan terbuka. Dengan banyak eksperimen dan berkreasi maka peluang-peluang akan terus bermunculan. Itulah makna hakiki dari kreativitas. Bagaimana hal tersebut bisa diwujudkan?

Saat ini propinsi NTB menempati posisi terakhir dalam perolehan indeks prestasi manusia (IPM) di Indonesia. Selain mengejar ketertinggalan dari sisi pendidikan formal, pendidikan informal yang berorientasi pada daya kreativitas generasi muda terutama, saya kira perlu diberikan Porsi yang lebih luas.

Bagi para seniman, satu hal yang juga harus disadari, aspek kreativitas itu tidak berhenti pada tataran produk. Seorang seniman, selain mahir berkarya juga dituntut untuk memiliki jiwa enterprenurship/kewira-usahaan. Sebab sebagus apapun seorang seniman mampu membuat karya, maka hasil karya tersebut hanya akan dinikmati sendiri jika tidak mampu di’lempar’kan ke Publik yang lebih luas. Jiwa kewirausahaan tersebut juga akan menjamin kemandirian seniman dalam berkarya.

F. Penutup

Diterima atau tidak, trend ekonomi kreatif atau industri kreatif merupakan sesuatu yang tak bisa dipungkiri keberadaannya. Jika kita berpikir dalam kerangka positif, tentu akan banyak manfaatnya. Tetapi kita juga perlu menyikapinya secara kritis, sebab apapun itu akan berdampak pada arah kehidupan yang akan kita kita susun ke depan.

Jika kita mengacu pada pengertian definitifnya, industri kreatif adalah industri yang mengandalkan talenta, keterampilan dan creativitas yang merupakan elemen dasar individu sehingga potensi kreatif terdapat pada semua orang. Persoalannya adalah bagaimana kita mampu mengembangkan hal tersebut secara bersama dalam konteks yang lebih luas. Maka yang diperlukan ádalah membangun atmosfer atau iklim kreatifitas. Pemerintah, pelaku usa dan masyarakat secara luas harus berusaha bersama untuk mendukung hal tersebut. Mungkin perlu kerangka aksi yang lebih realistis untuk mewujudkan hal tersebut, selain semangat, kemauan dan usa terus menerus. Bangsa yang esar adalah bangsa yang mampu menghargai kreativitas…

Wassalam.

Mataram, 1 Oktober 2010

Paox Iben Mudhaffar, Penulis adalah penggiat seni-budaya di NTB. Mendirikan INSTITUT RUMAH ARUS(IRUS), sebuah lembaga kajian budaya dan transformasi sosial. Saat ini juga menjabat sebagai direktur KANAYAN Arthouse.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar